HUKUM SHALAT BERJAMA’AH
DIKALA HUJAN
Oleh : ISKANDAR AHMAD
Sumber : Syaikh Ali bin Hasan bin
Ali Al-Halaby Al-Atsary
Pertanyaan.
Pada musim hujan seperti sekarang
ini saya kadang tidak shalat berjama;ah di masjid karena
hujan tersebut, meskipun
sebetulnya saya meyakini bahwa shalat berjama’ah dimasjid bagi laki-
laki wajib dan saya merasa
berdosa setiap kali tidak datang ke masjid karena hujan. Bagaimana menurut redaksi
majalah adz-dzakhirah ?
Jawaban
Ya, memang betul bahwa hukum asal
shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki itu wajib dan
keutamaannya shalat berjama’ah
itu sangat banyak sekali. Akan tetapi di kala ada udzur atau
alasan syar’i (seperti hujan)
dibolehkan untuk tidak berjama’ah di masjid. Untuk lebih jelasnya
simaklah ucapan Syaikh Ali Hasan bin Hasan Al-Halaby
Al -Atsary tentang hukum shalat
berjama’ah di kala hujan.
[1]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhu bahwasanya dia pernah berkata kepada mu’adzinnya
ketika hujan turun: “Apabila
engkau telah melafadzkan : Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah maka ( setelahnya )
jangan mengatakan : Hayya alash sholah
akan tetapi katakan
‘Shollu Fii Buyutikum”. Lalu
manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah
tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata : “Hal
ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah kewajiban dan
aku tidak ingin menyuruh kalian
keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek
dan licin” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Shahihnya 901
dan Muslim 699]
[2]. Dari Nafi’, dia berkata
: “Pernah suatu malam Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu
mengumandangkan adzan di Dhojnan
(nama sebuah gunung dekat Mekkah, -pent)
lalu beliau
berkata : Shallu Fii Rihaalikum”
kemudian beliau menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyuruh
muadzdzinnya mengumandangkan adzan pada waktu malam
yang dingin atau hujan dalam
safar (perjalanan), dan pada akhir adzannya mu’adzin itu
mengucapkan : Alaa Shollu Fi
Rihaal” [Hadits Riwayat Bukhari dalam
Shahihnya 623 dan
Muslim 697]
[3]. Dari Usamah bin Umair
Radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Dahulu kami bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada waktu Hudaibiyah dan hujanpun menimpa kami tapi tidak
sampai membasahi sandal-sandal
kami. Lalu mu’adzin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumandangkan : Shallu Fii
Rihaalikum” [Hadits Riwayat Ahmad 5/74 dan 75 dan Abu
Daud 1057]
[4]. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhu bahwa dia pernah menemui malam yang dingin sekali
maka ada diantara mereka yang
memberitahu (tentang bolehnya shalat di rumah di kala hujan, -
pent), maka merekapun shalat di
rumah-rumah mereka. Ibnu Umar mengatakan : “ sesungguhya
aku melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabat untuk shalat di
rumah mereka di kala keadaannya
seperti ini” [Hadits Riwayat Ibnu Hibban
2076]
[5]. Dari Jabir Radhiyallahu
‘anhu dia berkata : “ Dahulu kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam safar (perjalanan) lalu
hujanpun menimpa kami maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : Siapa yang mau maka silahkan di shalat di rumahnya atau
tempatnya” [Hadits Riwayat Muslim
698]
Ibnu Hibban meriwayatkan pula
hadits tersebut dalam shahihnya 2082 dan
memberi judul
babnya : “Penjelasan bahwa perintah untuk shalat di
rumah (tidak berjama’ah,-pent) bagi
yang memiliki udzur diatas adalah
suatu yang mubah atau dibolehkan dan bukan wajib”
Di dalam hadits- hadits tersebut di
atas ada beberapa pelajaran penting
diantaranya :
[1]. Boleh meninggalkan shalat
berjama’ah di masjid karena alasan (yang disyariatkan, -pent). Hal
ini dikatakan oleh Al-Iraqi dalam
(Tarhut Tatsrib 2/318). Lalu dia berkata : “Ibnu Baththa berkata
: Para ulama telah sepakat bahwa
meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) pada waktu hujan deras
[1],
angin (kencang) dan yang semisalnya
dibolehkan” Imam Qurthubi mengatakan dalam
(Al-Mufhim 3/1218) setelah menyebutkan beberapa hadits-
hadits diatas : “Dahir
hadits-hadits tersebut menunjukkan bolehnya meninggalkan shalat
berjama’ah karena hujan, angin
(kencang) dan dingin serta semisalnya dari hal-hal yang
memberatkan baik dikala
perjalanan (safar) atau tidak”.
[2]. Seorang muadzdzin ketika ada
hal -hal diatas (hujan dll) mengganti lafadz Hyya ‘Alsh Shalah
dengan Shollu Fii Rihaalikum atau
Buyuutikum. Tapi ada riwayat -riwayat lain yang juga shahih
menjelaskan bolehnya menambahkan
Shollu Fii Buyuutikum setelah Hayya ‘Alal Falah atau
setelah adzan selesai. Semuanya
boleh diamalkan (boleh memilih)
[3]. Meninggalkan shalat berjama’ah di masjid itu dibolehkan
baik pada saat muadzdzin
mengumandangkan Shollu Fii
Rihalikum ataupun tidak mengumandangkannya.
[4]. Shalat di rumah dikala ada
alasan yang disyariatkan itu hukumnya
boleh-boleh saja dan
bukan wajib. Oleh karena itu
Bukhari memberi judul bab dalam shahihnya, kitab adzan bab 40,
bab : Dibolehkannya shalat di
rumah karena hujan atau sebab yang lainnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul
Baari 3/157 berkata (mengomentari judul bab shahih Bukhari
di atas, pent) : “Imam Bukhari
menyebutkan (atau sebab yang lainnya) karena ini lebih umum dari
pada hanya disebutkan karena
hujan saja. (Dibolehkannya) shalat di rumah itu sebabnya lebih
umum dari pada hanya karena hujan
atau semisalnya. Dan shalat di rumah kadang bisa dengan
berjama’ah atau sendirian,
meskipun kebanyakan dengan sendirian. (Karena) hukum asal shalat
berjama’ah itu dilakukan di di
masjid”
Dan yang menguatkan akan hal ini
semuanya adalah keumuman sabda beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Barangsiapa yang
mendengar adzan tapi tidak mendatanginya maka tidak ada
shalat baginya kecuali karena
udzur (alasan) syar’i” [Hadits Riwayat Ibnu Majah 793]
Tidak diragukan lagi bahwa hujan
dan yang semisalnya itu merupakan udzur. Wallahu a’lam
[Ahkamusy Syitaa’ Fis Sunnatil
Muthahharah hal. 41-44]
[Dislain dari majalan
Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H – April 2005]
_________
Foote Note
[1]. Tapi hadits Usamah bin Umar
(hadits ke tiga diatas) membantah pengkhususan (udzur)
hanya pada hujan deras saja.
Bahkan Ibnu Hibban membuat judul bab dalam Shahihnya (5/438) dengan ucapan
beliau (penjelasan bahwa hukum hujan rintik-rintik yang tidak mengganggu itu
sama dengan hukum hujan yang
mengganggu)